Berkali-kali Setiap Hari
Memanah mungkin butuh kesabaran, ketelitian, ketekunan. Aku
paham. Sejak pertama kali dipanah dengan panah yang menancap sedikit
menggoresku, aku paham dia telah melakukannya dengan tekun. Jadi tak ada yang
kuragukan. Mengenalnya dengan baik selama bertahun-tahun membuatku cukup yakin,
panah yang ia lempar padaku bukan sekedar panah biasa.
Aku dibuatnya tersenyum berkali-kali, memaksaku menarik
ujung bibir agar lebih melebar. Dan dengan dia, aku dibebaskan dari sebuah
penantian. Tak ada yang pernah tahu seberapa lama aku membuang waktu dan
menyia-nyiakan individu setipe yang kutinggalkan karena ada perasaan lain
untuknya.
Dia pun, tidak pernah tahu.
Bagaimana aku menyembunyikan sangat apik perasaanku agar
tidak satu pun mengerti untuk siapa hati ini tertuju. Mereka yang mengira bahwa
aku sudah pindah dan tak mungkin kembali lagi tentu salah besar.
“Kamu cantik, pintar dengan caramu sendiri, kamu hebat
dengan gayamu sendiri. Kamu memiliki daya tarikmu sendiri, Ra. Aku tak perlu menyebut
satu-satu daftar nama yang memintamu untuk bisa melupakannya, bukan?” Sasya,
sudah berkali-kali ia mengatakan hal yang sama. Aku hampir gerah tapi kucegah.
Dia mungkin tak pernah tahu bagaimana aku menyimpan apik
perasaan agar tak melukai banyak orang. Dia pun tidak tahu, setiap inci
percakapan dengannya ku memorikan pada sebuah buku khusus yang kelak kutekadkan
akan jadi sebuah film romantis. Utamanya, dia tidak tahu bahwa aku selalu
berdoa dan ada namanya sebelum aku menyebut aamiin.
“Aku tak habis pikir, cinta macam apa yang membuatmu
sebegininya pada lelaki yang menoleh padamu pun saja tidak, Ra.” Sasya lagi.
Apa yang harus kupersembahkan pada sahabatku itu kalau
aku hampir lelah mendengar kata-katanya. Bukankah kesetiaan tak perlu
dipertanyakan? Yang kutahu aku memilihnya, maaf, kuralat, bukan aku, tapi
hatiku. Aku tak pernah meminta diriku untuk mencintainya. Sama sekali tidak
pernah.
Dia juga tidak tahu bagaimana aku membanggakannya pada
orang-orang yang sebenarnya sama sekali tidak mengenalnya. Aku tak peduli. Aku tak
memiliki alasan untuk tak melakukannya. Bagiku, dia adalah hal yang paling
baik. Mengetahuinya aku senang, mengenalnya aku bahagia, apalagi sampai
memilikinya?
Bagian mana lagi yang harus kudustakan agar terus
bersyukur?
Untuk malam ini saja aku menghabiskan waktu sampai tiga
kali dengan lelaki ini, yang kucintai tanpa sengaja bertahun-tahun lamanya. Mengambil
posisi menarik untuk dilakukan. Meski favoritku masih selalu ketika aku berada
dibawahnya. Melihatnya dengan peluh yang kemudian menetes dikeningku.
Melihatnya bergerak cepat membuatku bersuara lebih kencang.
Tangannya tak pernah diam, menggerayangiku sampai habis
tak tersisa. Aku menikmatinya tanpa peduli akan apa yang ia lakukan
selanjutnya. Dalam keadaan sadar saja dia sudah seliar ini bagaimana jika
kutawari untuk menghabiskan satu botol moscato
yang sengaja kuletakkan di lemari kamarku
Aku melupakan pertanyaan Sasya yang pernah ia lontarkan. Saat
ini, dengannya menjadi sebuah jawaban. Dan aku yakin Sasya mengetahui jawaban
itu.
Dia mencium keningku, lalu kedua pipiku, sampai bibirku
tidak berhenti. Aku masih mengeluarkan desahan yang kudengar menjijikkan tapi
nikmat. Sesekali dia menjadikan tubuhnya satu dengan tubuhku, menggodaku untuk
merasakan lehernya yang berkeringat meski berada di ruangan ber-AC dengan suhu
180C.
Makin lama gerakannya semakin cepat, sampai aku sudah
tidak tahan untuk berteriak semakin kencang. Tangannya belum berhenti
mencari-cari cara agar dia merasakan yang lebih dari yang kali ini ia rasakan.
“Kenapa kamu memilihku padahal ada banyak teman lelaki yang
sedang bersamaku dulu?” tanyanya. Tentu ketika dia sudah menyelesaikan
perlakuan manisnya padaku.
Aku menggeleng, ingin mengatakan bahwa aku tidak tahu.
“Kenapa hanya aku yang kamu tanyakan pada Jevin?”
Aku kembali menggeleng, mendaratkan ciumanku dibibirnya. Aku
ingin mengunci mulut itu agar tidak
terus-menerus bertanya.
“Aku tidak tahu. Kamu membuatku jatuh cinta sejak pertama
kali aku melihatmu, kamu istimewa.”
Semoga jawaban itu membuatnya puas.
Sampai sekarang, sampai aku benar-benar menjadi miliknya.
Sampai aku berhasil mengantongi namanya di akhir namaku, dia tidak pernah tahu
seberapa besar aku menyimpan perasaan ini sejak dulu. Dia belum tahu caraku
mengatur rasa agar tak pernah hilang untuknya. Dia juga kalau perlu tak usah
tahu, bagaimana aku mencintainya dengan sepenuh hati sampai habis cintaku untuk
disisakan pada oranglain yang katanya perlu.
Kalau ada yang mencintainya, tak ada yang sedalam
cintaku. Kalau ada yang menyayanginya, tak ada yang sehebat aku. Tak ada yang
mampu menyaingiku soal perasaanku padanya. Aku, yang lebih lama mencintainya,
dari dia belum jadi apa-apa, dari dia belum dikenal banyak orang, dari dia
masih belum kenal siapa-siapa.
Dia, yang membuatku jatuh cinta berkali-kali setiap hari.
Komentar
Posting Komentar